Opini & Artikel

PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN MEDIA KOMIK
DALAM MENULIS KREATIF NASKAH DRAMA

I. Sekilas Tentang Drama
1 Pengertian Drama
Drama merupakan seni yang kompleks karena terkait dan ditunjang oleh seni-seni yang lain. Menurut John E. Dietrich (dalam Zulfahnur dkk. 1997: 92) drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas, dengan menggunakan percakapan dan gerak di hadapan penonton. Sedangkan menurut Moulton (dalam Zulfahnur dkk. 1997: 93) drama adalah kehidupan yang disajikan dalam laku.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KBBI, 1995: 515) drama berarti lakon yang dipen-taskan. Lakon ini berdasarkan naskah tertulis atau secara improvisasi yang dalam pementasannya di atas panggung disampaikan gerak atau laku dan percakapan dengan/atau tanpa musik dan tari, di hadapan penonton.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka drama termasuk ragam sastra karena ceritanya (lakon drama) bersifat imajinatif dalam bentuk naskah drama, yaitu naskah tertulis yang dalam pementasannya di atas panggung disampaikan dengan gerak/laku dan percakapan.
2 Stuktur Drama
Struktur drama meliputi: (1) plot atau kerangka cerita, (2) penokohan atau perwatakan, (3) dialog, (4) latar, (5) tema, (6) amanat, dan (7) petunjuk teknis. Sebagai cerita sastra, drama memiliki unsur-unsur cerita: a) perwatakan, b) dialog, c) latar, d) alur. (Zulfahnur dkk. 1997: 93). Berdasarkan unsur-unsur tersebut, maka bagian yang sangat penting dan secara lahiriah membedakan sastra drama dari jenis fiksi lain ialah dialog. Dialog-dialog dalam drama biasanya padat, tidak membosankan, jelas dan tersusun sesuai karakter pelaku.
2.1 Tokoh atau Perwatakan
Penokohan erat hubungannya dengan perwatakan. Susunan tokoh drama adalah daftar tokoh-tokoh yang berperan dalam drama itu. Dalam susunan tokoh perlu dijelaskan adalah nama, umur, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan, dan keadaan kejiwaannya. Penulisan lakon sudah menggambarkan perwatakan tokoh-tokohnya.
Cerita yang disajikan dalam sastra drama, walaupun kadang-kadang dialami oleh binatang atau makhluk lain, umumnya dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang berupa manusia. Dengan demi-kian dapatlah dikatakan bahwa tokoh cerita adalah orang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa atau sebagian dari peristiwa-peristiwa yang digambarkan di dalam plot (Jakob Sumardjo dan Saini K.M. 1986: 144).
Sifat dan kedudukan tokoh cerita dalam drama juga beraneka ragam. Ada yang bersifat pen-ting (mayor), dan ada yang tidak terlalu penting (minor). Tokoh protagonis adalah tokoh yang per-tama-tama menghadapi masalah dan terlibat dalam kesukaran-kesukaran, sehingga pembaca atau penonton biasanya berempati. Tokoh antagonis adalah tokoh yang berperan sebagai penghalang dan masalah bagi protagonis.
2.2 Dialog
Bagian yang sangat penting dan secara lahiriah membedakan sastra drama dari jenis fiksi lain ialah dialog (Jakob Sumardjo dan Saini K.M. 1986: 136). Dialog ialah bagian dari naskah drama yang berupa percakapan antara satu tokoh dengan yang lain. Dialog mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam sastra drama, sehingga tanpa kehadirannya, suatu karya sastra tidak dapat digolongkan ke dalam karya sastra drama.
Dalam menyusun dialog ini pengarang harus benar-benar memperhatikan pembicaraan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehari-hari. Bayangan pentas di atas panggung merupakan mimetik (tiruan) dari kehidupan sehari-hari, jadi dialog yang ditulis juga mencerminkan pembicaraan sehari-hari.
2.3 Setting (Latar)
Latar atau tempat kejadian cerita sering pula disebut latar cerita. Latar biasanya meliputi tiga hal yaitu: tempat, ruang dan waktu. Latar tempat tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan waktu dan ruang.
Peristiwa-peristiwa yang dilukiskan dalam naskah drama tidak selamanya terjadi di suatu tempat pada satu waktu, bahkan sering terjadi peristiwa yang satu dengan yang lain berjarak ribuan kilometer dan puluhan tahun. Dengan demikian, keadaan pentas tempat peristiwa-peristiwa itu terja-di harus berbeda satu sama lain, agar pembaca atau penonton mengetahui bahwa peristiwa itu berada pada tempat dan waktu yang berlainan. Penulis naskah drama dapat menyatukan semua peristiwa yang terjadi di satu tempat dan pada satu urutan waktu ke dalam satu babak. Dengan kata lain, suatu babak dalam naskah drama adalah bagian dari naskah drama itu yang merangkum semua peristiwa yang terjadi di satu tempat pada urutan waktu tertentu (Jakob Sumardjo dan Saini K.M. 1986 : 136).
2.4 Alur atau Kerangka Cerita
Plot atau alur cerita adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum sebab akibat (Jakob Sumardjo dan Saini K.M. 1986 : 139). Peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua, periatiwa kedua menyebabkan terjadinya peristiwa ketiga, dan demikian selanjutnya, hingga pada dasarnya peristiwa terakhir ditentukan terjadinya oleh peristiwa pertama. Kedudukan alur sangat penting dalam sastra drama, karena tanpa alur sastra drama tidak tercipta.
Tugas menarik pembaca atau penonton itu di emban alur dengan mempergunakan unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut adalah a) ketegangan, b) dadakan, c) ironi dramatik (Jakob Sumardjo dan Saini K.M. 1986 : 142).
II. Media Komik Sebagai Alat Pembelajaran Menulis Naskah Drama
1.1 Media Pembelajaran
Sebagai guru yang membelajarkan siswa, kita tentu harus dapat memilih materi dan media pembelajaran yang lebih kontektual agar hasil belajar bermakna, yaitu hasil belajar yang diperoleh siswa dengan mengalami sendiri. Dalam hal ini tentu tidak dapat dipisahkan antar materi, media, dan sumber pembelajaran.
Media pembelajaran adalah alat atau materi lain yang menyajikan bentuk informasi lengkap dan dapat menunjang proses belajar mengajar. Ruseffendi (dalam Depdiknas 2005: 18) menyatakan bahwa media pendidikan adalah perangkat lunak (soft ware) dan atau perangkat keras (hard ware) yang berfungsi sebagai alat belajar dan alat bantu belajar. Sementara itu, Brown, dkk. (dalam Depdiknas 2005: 18) membuat klasifikasi media pembelajaran yang sangat lengkap yang mencakup sarana belajar (equipment for learning), sarana pendidikan untuk belajar (educational media for learning), dan fasilitas belajar (facilities for learning). Sarana belajar mencakup tape recorder, radio, OHP, video player, televisi, laboratorium elektronik, telepon, kamera, dan lain-lain. Sarana pendi-dikan untuk belajar mencakup buku teks, buku penunjang, ensiklopedi, majalah, surat kabar, kliping, program TV, program radio, gambar dan lukisan, peta, globe, poster, kartun, boneka, papan planel, papan tulis, dan lain-lain. Fasilitas belajar mencakup gedung, kelas, ruang diskusi, laboratorium, studio, perpustakaan, tempat bermain, dan lain-lain.
Media adalah 1) alat; 2) alat (sarana) komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, pos-ter, dan spanduk; 3) yang terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dsb); 4) perantara; penghu-bung (KBBI, 1995: 640). Media pembelajaran adalah alat atau materi lain yang menyajikan bentuk informasi lengkap dan dapat menunjang proses belajar mengajar. Alat atau sarana pendidikan untuk belajar mencakup buku teks, buku penunjang, ensiklopedi, majalah, surat kabar, kliping, program TV, program radio, gambar dan lukisan, peta, globe, poster, kartun, boneka, papan planel, papan tulis, dan lain-lain (Depdiknas 2005: 18).
Berdasarkan pengertian dan klasifikasi tersebut tampak bahwa pengertian materi, media, dan sumber bahan sulit dipisahkan, tetapi rambu-rambu pertanyaan berikut kiranya dapat digunakan untuk memperjelas perbedaan konsep ketiganya. Pertama, apa yang kita ajarkan? Jawabannya tentu dalam kategori materi. Kedua, dari mana materi pembelajaran itu kita dapatkan? Jawabannya masuk dalam kategori sumber bahan atau sumber materi. Ketiga, dengan alat bantu apa kita mengajarkan materi itu? Jawabannya masuk dalam kategori media pembelajaran.
Media pengajaran adalah suatu alat bantu yang tidak bernyawa. Alat ini bersifat netral. Peranannya akan terlihat jika guru pandai memanfaatkannya dalam belajar mengajar. Media apa yang akan dimanfaatkan guru? Kapan pemanfaattannya? Di mana pemanfaatannya? Bagaimana cara pemanfaatannya? Adalah serentetan pertanyaan yang perlu diajukan dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan media pengajaran dalam proses belajar mengajar (Syaiful Bahri Dj. dan Aswan Zain, 1996:151-152).
1.2 Menulis Naskah Drama dengan Media Komik
Komik adalah cerita bergambar (dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku) yang umumnya mudah dicerna dan lucu (KBBI, 1995: 515). Secara umum, sebuah komik tak lepas dari tampilan gambar-gambar dan lambang-lambang yang berurutan. Sejalan dengan hal tersebut, menurut sebuah tulisan yang saya kutip dari detikinet menjelaskan sebagai berikut sebuah komik terdiri dari gambar-gambar yang bercerita sehingga komik bisa disajikan tanpa deretan kalimat yang panjang. Bisa dibilang, komik membuat anak-anak hingga kalangan orang dewasa tergila-gila membacanya (www.detikinet. com, edisi Jumat, 24/11/2006).
Pada sebuah seminar dinyatakan bahwa Model pembelajaran lain yang ditawarkan adalah model pembelajaran dengan media komik pendidikan yang dipaparkan Sulasmi, S.Pd. yang lebih lanjut mengatakan bahwa media komik sangat praktis untuk menyampaikan materi-materi pelajaran atau ilmu pengetahuan praktis kepada anak. Komik sengaja disajikan untuk menarik perhatian, mempengaruhi emosi, memberi kemudahan mempelajari teks, membangkitkan daya ingat anak (www.uny.ac.id/home/data.php).

III. Pendekatan Kontekstual
Untuk memanfaatkan media komik dalam pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, tugas kita sebagai guru adalah membelajarkan siswa, bukan mengajar. Siswalah yang aktif berlatih menggunakan bahasa melalui media yang disediakan. Dalam penerapan komik sebagai media pembelajaran, perlu dipilih strategi pembelajaran yang sesuai yaitu pembelajaran kontekstual. Agar proses pengajaran kontekstual lebih efektif, guru perlu melaksanakan beberapa hal sebagai berikut.
1) Mengkaji konsep dan kompetensi dasar yang akan dipelajari oleh siswa.
2) Meahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara saksama.
3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengaitkan-nya dengan konsep dan kompetensi yang akan dibahas dalam proses pembelajaran kontekstual.
4) Merancang pengajaran dengan mengaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertim-bangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan kehidupan mereka.
5) Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dan mengaitkan apa yang dipelajarinya dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, siswa didorong untuk membangun kesimpulan yang meru-pakan pemahaman siswa terhadap konsep atau teori yang sedang dipelajarinya.
6) Melakukan penilaian terhadap pemahaman siswa. Hasil penilaian tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap rancangan pembelajaran dan pelaksanaannya (Nurhadi dkk, 2004: 22).
Nana Sudjana (dalam Syaiful Bahri Dj. dan Aswan Zain, 1996:152-153) merumuskan fungsi media pengajaran menjadi enam kategori, sebagai berikut.
1) Penggunaan media dalam proses belajar mengajar bukan merupakan fungsi tambahan, tetapi mempunyai fungsi sendiri sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif.
2) Penggunaan media pengajaran merupakan bagian yang integral dari keseluruhan situasi meng-ajar. Ini berarti bahwa media pengajaran merupakan salah satu unsur yang harus dikembangkan guru.
3) Media pengajaran dalam pengajaran, penggunaannya integral dengan tujuan dari isi pelajaran. Fungsi ini mengandung pengertian bahwa pemanfaatan media harus melihat kepada tujuan dan bahan pelajaran.
4) Penggunaan media dalam pengajaran bukan semata-mata alat hiburan, dalam arti digunakan hanya sekadar melengkapi proses belajar supaya lebih menarik perhatian siswa.
5) Penggunaan media dalam pengajaran lebih diutamakan untuk mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan guru.
6) Penggunaan media dalam pengajaran diutamakan untuk mempertinggi mutu belajar mengajar. Dengan perkataan lain, menggunakan media, hasil belajar yang dicapai siswa akan tahan lama diingat siswa, sehingga pelajaran mempunyai nilai tinggi.
IV. Langkah-Langkah Penerapan
Berpedoman pada fungsi media tersebut, maka dalam memilih media komik sebagai alat bantu pembelajaran, guru dapat menempuh langkah-langkah berikut ini.
1) Merumuskan
Merumuskan tujuan (kompetensi dasar yang ingin dicapai) dengan memanfaatkan media komik.
2) Persiapan guru.
Pada fase ini guru memilih dan menetapkan media komik sebagai alat bantu yang akan diman-faatkan guna mencapai tujuan pembelajaran.
3) Persipan kelas.
Pada fase ini siswa atau kelas harus mempunyai persiapan, sebelum mereka menerima pelajaran dengan menggunakan media komik. Guru harus dapat memotivasi mereka agar dapat menilai, menganalisis, menghayati pembelajaran dengan menggunakan media komik dalam pembelajaran.
4) Langkah penyajian pelajaran dan pemanfaatan media komik.
Pada fase ini penyajian bahan pelajaran dengan memanfaatkan media komik untuk menulis naskah drama. Keahlian guru dituntut di sini. Media diperbantukan oleh guru untuk membantu tugasnya menjelaskan bahan/materi pembelajaran.
5) Langkah kegiatan siswa.
Pada fase ini siswa belajar dengan memanfaatkan media komik yang disiapkan guru. Dengan pemanfaatan media komik ini, siswa melakukan tugas menulis naskah drama dengan bimbingan guru.
6) Langkah evaluasi pembelajaran.
Pada langkah ini kegiatan belajar dievaluasi, sampai sejauh mana kompetensi pembelajaran dapat tercapai, yang sekaligus mengetahui sejauh mana pengaruh media komik sebagai alat bantu dapat menunjang keberhasilan proses pembelajaran. Hasil evaluasi dijadikan dasar atau bahan untuk proses pembelajaran berikutnya.

Tinggalkan komentar